Terampil Saja Tak Cukup [intisari]

Penulis: M. Sholekhudin

Di dalam ilmu bisnis, ada sebuah guyonan: Agar bisa sukses, Anda tak perlu pintar-pintar. Cukup rekrutlah orang-orang yang lebih pintar dari Anda. Gaji dan arahkan mereka untuk mencapai tujuan Anda.

====

Guyonan ini sekilas mungkin terdengar konyol dan berlebihan, bahkan mungkin keji. Tapi jika kita lihat sisi cerdiknya, petuah lucu ini tak sepenuhnya mengada-ada. Kemampuan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan adalah sebuah modal mahal dalam organisasi apa pun. Tidak semua orang memiliki kemampuan, yang oleh para ahli manajemen disebut kepemimpinan (<i>leadership</i>) ini. Tak berlebihan jika dikatakan modal ini bisa mengantarkan pemiliknya menuju sukses.

Agar bisa sukses menjalankan bisnis, katakanlah bisnis perangkat komputer, seorang manajer puncak tak harus menguasai seluk-beluk teknologi komputer. Ia tak harus ahli tentang <i>software</i> ini-itu. Keahlian itu cukuplah dikuasai oleh anak buahnya di lini teknis. Yang ia perlukan adalah kemampuan memimpin orang-orang yang memiliki kemampuan teknis itu.

Dalam kajian psikologi sumber daya manusia (SDM), keahlian teknis digolongkan sebagai <i>hard skill</i>, sementara kepemimpinan tergolong <i>soft skill</i>. “Keduanya penting dan mutlak diperlukan oleh semua karyawan, pada semua level. Yang membedakan adalah kadarnya masing-masing,” terang Helni Widyastuti, konsultan lembaga rekrutmen SDM Auditsi, Jakarta.

Seorang pekerja di lini teknis, misalnya, lebih dituntut untuk menguasai teknologi (<i>hard skill</i>) daripada kemampuan mengelola orang-orang (<i>soft skill</i>). Sementara, seorang manajer lebih dituntut sebaliknya.

<b>Tidak kasatmata</b>

Sesuai namanya, <i>hard skill</i> berkaitan dengan sesuatu yang tampak dan terukur. Sementara, <i>soft skill</i> lebih berkaitan dengan sesuatu yang tak tampak dan sulit diukur.

Sekadar contoh, profesi akuntan di sebuah perusahaan. Supaya bisa menjalankan profesinya, dia harus menguasai teknik akunting dan bisa mengoperasikan komputer. Dua keterampilan ini adalah contoh <i>hard skill</i>. Kedua jenis keterampilan ini gampang dilihat, diukur, dan biasanya sudah didapat dari bangku kuliah.

Selain itu, ia juga dituntut memiliki ketelatenan, kesabaran, daya adaptasi terhadap kondisi kerja yang monoton, serta ketahanan terhadap stres pada saat beban kerja menumpuk. Kemampuan-kemampuan inilah yang disebut <i>soft skill</i>. Semua kemampuan ini bersifat abstrak, tidak kasatmata, sulit diukur, dan biasanya tidak diajarkan di bangku sekolah maupun kursi kuliah.

Konsep tentang <i>soft skill</i> sebetulnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan nama kecerdasan emosional (<i>emotional intelligence</i>). Masing-masing profesi membutuhkan kombinasi <i>hard skill</i> dan <i>soft skill</i> jenis tertentu. Prioritasnya bisa berbeda-beda, bergantung pada jenis pekerjaanya.

Secara garis besar, <i>soft skill</i> bisa digolongkan ke dalam dua kategori: <i>intrapersonal skill</i> dan <i>interpersonal skill</i>. <i>Intrapersonal skill</i> lebih berkaitan dengan kemampuan seseorang mengenali diri sendiri, motivasi diri, kerja keras, dan ambisi. Sementara <i>interpersonal skill</i> lebih berkaitan dengan kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, empati, kepemimpinan, kemampuan bernegosiasi, memotivasi dan mengarahkan orang lain.

Karena sifatnya yang kasatmata, <i>hard skill</i> gampang dilihat tanpa harus bertemu dengan orang yang bersangkutan. Kompetensi jenis ini bisa langsung dilihat dari daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi, dan tes praktek.

Tidak demikian halnya dengan <i
>soft skill</i>
. Kemampuan jenis ini jauh lebih sulit diukur. Biasanya <i>soft skill</i> seseorang baru akan terlihat jelas ketika ia telah berada di lingkungan kerja yang sebenarnya. Pada saat seleksi karyawan, psikolog biasanya mengevaluasi <i>soft skill</i> seseorang melalui alat bantu psikotes dan wawancara yang mendalam.

Interpretasi hasil dari psikotes dan wawancara ini, kata Helni, memang tidak dijamin seratus persen benar, tapi sangat membantu proses evaluasi <i>soft skill</i> seseorang. Dengan evaluasi ini, psikolog terbantu untuk menempatkan <i>the right person in the right place</i>. “Apa pun posisi seorang karyawan, harus ada kombinasi yang sesuai antara <i>hard skill</i> dan <i>soft skill</i>,” kata Nilawaty Bahar, kolega Helni di Auditsi.

<b>Rahasia eksekutif dunia</b>

Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala <i>hard skill</i> semata-mata kini sudah ditinggalkan. Percuma jika <i>hard skill</i> oke tapi <i>soft skill</i> buruk. Ini bisa kita lihat dari iklan-iklan lowongan kerja yang kita jumpai setiap hari di koran:

<i>Dibutuhkan, seorang manajer pemasaran; Lulusan minimal S-1; pengalaman minimal 3 tahun di bidang pemasaran; Lancar berkomunikasi dalam bahasa Inggris; Bisa bekerja dalam tim; Punya kemampuan negosiasi yang baik; bisa bekerja dalam tekanan; dan seterusnya.</i>

Tiga syarat pertama (sarjana, pengalaman, dan kemampuan berbahasa Inggris) mewakili unsur <i>hard skill</i>. Sementara tiga syarat terakhir (kemampuan kerja tim, negosiasi, dan tahan stres) mewakili unsur <i>soft skill</i>. Tanpa didukung <i>soft skill</i> yang baik, <i>hard skill</i> hanya akan menjadi keterampilan kerja yang tak begitu diperlukan perusahaan.

Ini sering kita jumpai saat proses seleksi karyawan. Tak jarang, peserta tes yang nilai akademik dan kemampuan bahasa Inggrisnya lebih top, dipecundangi oleh peserta lain yang nilai akademik dan kemampuan bahasa inggrisnya lebih rendah. Fenomena macam ini tak terlalu mengherankan jika kita melihatnya dari aspek <i>soft skill</i>.

Ini tidak berarti <i>hard skill</i> kurang begitu penting. <i>hard skill</i> tetap faktor penting dalam bekerja. Namun, keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih ditentukan oleh <i>soft skill</i> yang baik.

David McClelland, psikolog kawakan dari Boston University, bahkan berani berfatwa, faktor utama keberhasilan para eksekutif kelas dunia adalah kepercayaan diri, daya adaptasi, kepemimpinan, serta kemampuan mempengaruhi orang lain. Semua faktor ini tidak lain, tak bukan, adalah <i>soft skill</i>.

Saat perekrutan karyawan, banyak perusahaan lebih memilih mereka yang punya kepribadian lebih baik, meskipun <i>hard skill</i>-nya lebih rendah. Alasannya sederhana: pelatihan keterampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Jika seseorang memiliki motivasi belajar yang kuat (<i>soft skill</i>), keterampilan apa pun menjadi gampang dipelajari. Sebaliknya, jika seseorang kurang memiliki motivasi, ia akan cenderung berpuas diri dengan kondisi yang stagnan.

<b>Bisa dipelajari</b>

Idealnya memang seorang karyawan memili <i>hard skill</i> oke, didukung oleh <i>soft skill</i> tangguh. Jika dua unsur ini bisa berada dalam satu pribadi, tak berlebihan bila dikatakan ia adalah sumber daya unggul pemilik masa depan. Para ahli manajemen percaya, jika ada dua orang dengan bekal <i>hard skill</i> yang sama, maka yang akan menang di masa depan adalah dia yang memiliki <i>soft skill</i> lebih baik. Ini tak diragukan lagi, kecuali ada faktor kebetulan atau keajaiban.

Pada level bawah, seorang karyawan umumnya tidak menghadapi banyak masalah berkaitan dengan <i>soft skill</i>. Apalagi jika ia berada di posisi operasional dan teknis. Masalah <i>soft skill</i> biasanya menjadi lebih kompleks ketika seseorang berada di posisi manajerial atau ketika ia harus berinteraksi dengan
banyak orang.

Tak jarang, seorang karyawan bisa sukses ketika bekerja secara individual, tapi gagal ketika memegang posisi manajerial. Saat bekerja sendiri, ia bisa mengandalkan <i>intrapersonal skill</i>-nya seperti motivasi diri dan kerja keras. Tapi urusan menjadi lain ketika ia harus mengendalikan orang-orang dalam sebuah tim. Motivasi diri saja tak cukup. Harus ditunjang oleh <i>intrapersonal skill</i>, misalnya kepemimpinan, empati, kemampuan memotivasi dan mengarahkan orang lain.

Semakin tinggi posisi manajerial seseorang di dalam piramida organisasi, menurut Helni, <i>soft skill</i> menjadi semakin penting dievaluasi saat proses seleksi. Pada posisi itu, ia dituntut untuk berinteraksi dengan berbagai orang dengan berbagai kepribadian. Saat itulah kecerdasan emosionalnya diuji.

Umumnya kelemahan di bidang <i>soft skill</i> berupa karakter yang melekat pada diri seseorang. Sekadar contoh, orang-orang tertentu memiliki tabiat kerja individual, tak sabaran jika bekerja dengan orang lain, cenderung mengunggulkan keakuannya ketika bekerja dalam tim, atau suka mencari kambing hitam ketika menghadapi masalah bersama.

Sebagai sebuah karakter, kelemahan di bidang <i>soft skill</i> cenderung melekat pada diri seseorang. Butuh usaha keras untuk mengubahnya. Gampang diomongkan, susah dipraktikkan.

Meski demikian, Helni menegaskan, <i>soft skill</i> bukanlah sesuatu yang stagnan. Kemampuan ini bisa diasah dan ditingkatkan seiring dengan pengalaman kerja.

Ada banyak cara meningkatkan <i>soft skill</i>. Salah satunya, lewat <i>learning by doing</i>. Seorang manajer anyar bisa belajar kepemimpinan secara otodidak lewat praktik langsung menjadi manajer. Selain itu, <i>soft skill</i> juga bisa diasah dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan manajemen.

Di buku-buku pengembangan diri, <i>soft skill</i> muncul dalam berbagai bentuk ajaran. Namanya beda-beda tapi semua pada prinsipnya sama. Daniel Goleman mengajarkan kecerdasan emosional. Stephen R. Covey mengajarkan <i>seven habits</i>, dan belakangan <i>eigth habits</i>. Robert T. Kiyosaki mengajarkan <i>How to Win Friends and Influence People</i>. Jansen Sinamo mengajarkan <i>delapan etos kerja profesional</i>. Sementara Ary Ginanjar mengajarkan <i>kecerdasan emosional-spiritual</> (ESQ). Semua konsep ini, tak lain, adalah pelajaran tentang <i>soft skill</i>.

Salah satu cara ampuh meningkatkan <i>soft skill</i> adalah berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain. Kelemahan dalam <i>soft skill</i> mirip tahi mata. Orang lain bisa melihat, tapi kita sendiri tidak mengetahuinya.

Author: emshol

Mohammad Sholekhudin, apoteker lulusan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya. Sempat bekerja di industri farmasi PT Novell Pharmaceutical Laboratories. Pernah menjadi penulis tetap majalah Kelompok Kompas Gramedia. Sempat menjadi editor konten buku Departemen Kesehatan. Penulis Buku Obat Sehari-Hari terbitan Elex Media Komputindo. Berminat di bidang penulisan dan pendidikan masyarakat. Tinggal di pesisir Lamongan. Bisa dihubungi di emshol@gmail.com/

Leave a comment