
Tulisan ini dimuat di IBTimes.id
Di dunia yang hiruk-pikuk dan penuh kebisingan media sosial seperti sekarang, mendengarkan musik yang bisa membuat jiwa melayang adalah cara murah minum obat penenang. Terima kasih kepada para programer YouTube yang telah menyediakan pintu masuk ke dunia musik yang hampir tak terbatas. Dari YouTube-lah saya menemukan “penjual ekstasi” bernama Dhafer Youssef, musisi asal Tunisia. Namanya seperti nama tetangga saya di Lamongan, cuma beda ejaan: Dopir Yusuf.
Ia sebetulnya sudah lama terkenal, bahkan pernah manggung di Indonesia, tapi saya baru mengetahuinya akhir tahun kemarin. Di skena musik, Dopir dikategorikan sebagai musisi jaz. Tapi sebetulnya musiknya melampaui jaz, lebih tepatnya jaz-gambus-psikedelik.
Komposisinya tak ada duanya. Bisa menciptakan pengalaman merinding seperti membaca berita tentang Mohamad Buazizi, orang Tunisia yang membakar diri di tahun 2011 yang kemudian meletuskan revolusi sosial di Tunisia dan merembet menjadi perang saudara di negara-negara Arab.
Dopir adalah musisi yang unik. Ia tumbuh di keluarga muslim tradisional yang religius. Keluarganya adalah muazin turun-temurun. Mereka diberkahi gen suara Bilal bin Rabah. Masa kecil Dopir dibentuk oleh tradisi qiraah dan azan dari menara masjid.
Tapi Dopir kemudian membelot. Ia tidak melanjutkan tradisi menjadi muazin, malah belajar menyanyi. Saat di pesantren, ia sering mendengarkan musik di radio secara sembunyi-sembunyi. Kegemarannya terhadap musik ini membuat ia tertarik belajar memainkan oud, alat musik petik sejenis gitar gambus.
Sempat berprofesi sebagai penyanyi kawinan, pembelotannya dari tradisi muazin makin jauh ketika ia memutuskan belajar musik ke Austria, Amerika, dan Prancis. Setelah malang-melintang di arena jaz, ia kemudian menggabungkan semua yang dikuasainya. Jadilah komposisi musik yang terdengar seperti jaz yang kearab-araban atau gambus yang kebarat-baratan.
Tapi sejauh-jauhnya ia membelot dari tradisi muazin, Dopir tetap seorang muazin. Bahkan tanpa mengetahui latar belakang Dopir pun, kita bisa melihat pengaruh ini dari musiknya. Di satu waktu, Dopir menyanyikan puisi berbahasa Arab yang mengutip puayat-ayat suci seperti sedang melantunkan qiraah.
Di lain waktu, ia seperti bergumam atau bersenandung tak jelas, kadang menjerit menciptakan lengkingan seperti suara latar film horor. Suara jeritannya bahkan tidak bisa dibedakan dari suara nada tinggi klarinet. Gen muazin tampak dominan di sini.
Salah satu penampilan terbaik Dopir adalah pentas “Dance of the Invisible Dervishes” tahun 2012. Setahun setelah revolusi Tunisia. Judulnya saja menggetarkan: “Tarian Sufi Ghaib”. Di pentas ini ia berkolaborasi dengan dua maestro musik etnik Turki, yakni Aytac Dogan dan Husnu Senlendirici.
Yang pertama adalah maestro kanun, harpa Arabia. Sementara yang kedua adalah maestro klarinet yang punya julukan “utusan Tuhan dalam urusan musik”. Suara alat-alat musik ini seperti menghadirkan kembali peristiwa sejarah penaklukan Konstantinopel dan kejatuhan Andalusia. Mendebarkan sekaligus mengagumkan. Mereka memainkan alat-alat musik seperti para penyair memainkan makna kata-kata.
Di lagu-lagunya, Dopir menyanyikan puisi-puisi sufi Jalaluddin Rumi, al-Hallaj, dan Abu Nawas. Misalnya, di lagu pembuka “Dance of the Invisible Dervishes” Dopir menyanyikan puisi kontroversial Abu Nawas yang mengutip al-Quran, “Fawaylun lil mushallin.” (Arti harfiahnya: Maka celakalah orang yang shalat).
Di Indonesia, Abu Nawas dikenal sebagai tokok yang kocak dan banyak akal. Padahal sebetulnya dia adalah penyair kontroversial yang sering membuat murka para pemimpin agama.
Di lagu ketiga yang berjudul Kafartu, Dopir menyanyikan puisi kontroversial al-Hallaj, “Kafartu bi dinilllah”. Arti harfiahnya, “Aku kufur terhadap agama Allah”. Al-Hallaj juga adalah tokoh sufi kontroversial yang sering membuat murka penguasa sampai ia dihukum mati.
Abu Nawas dan al-Hallaj adalah penyair-penyair yang memberontak terhadap pemberhalaan fikih. Seolah mengikuti jejak para penyair itu, Dopir, lewat musiknya, menabrak semua “fikih musik”. Ia menciptakan tarekat musiknya sendiri.
Tarian Sufi Ghaib ini pentas yang lengkap. Tak hanya menyuguhkan musik, Dopir juga memadukannya dengan pentas puisi oleh penyair Tunisia, Awlad Ahmad, yang membacakan puisi-puisi pemberontakan sosial. Syair lengkap berbahasa Arab dan terjemahan Inggrisnya bisa dibaca di sini.
Awlad Ahmad adalah penyair Tunisia kenamaan yang sangat keras menentang rezim Zainal Abidin bin Ali, presiden yang ditumbangkan rakyatnya lewat revolusi setelah Mohamad Buazizi membakar diri.
Salah satu penggalan syairnya:
Mahabenar Engkau, Tuhanku
Para raja itu
Seperti para presiden
Menghancurkan kota-kota yang dimasukinya
Ini adalah kutipan al-Quran, “Innal muluka idza dakhalu qaryatan afsaduha”.
Dari beberapa judul yang dimainkan Dopir, yang paling banyak disukai penggemarnya adalah lagu Soupir Eternel. Di lagu ini, suara lengkingan Dopir seperti sambung-menyambung tanpa batas dengan suara klarinet Husnu. Menegangkan sekali.
Tiap kali mendengar jeritan Dopir atau klainet Husnu, jantung berdebar-debar, khawatir nafas mereka tidak kuat lalu tiba-tiba suaranya seperti balon mbrobos. Untungnya, penampilan mereka sempurna. Tiada cela.
Silakan dinikmati. Mari melayang bersama Rumi, al-Hallaj, dan Abu Nawas.