Musik Puisi yang Harus Dinikmati Sebelum Mati: Dopir Yusuf

Tulisan ini dimuat di IBTimes.id

Di dunia yang hiruk-pikuk dan penuh kebisingan media sosial seperti sekarang, mendengarkan musik yang bisa membuat jiwa melayang adalah cara murah minum obat penenang. Terima kasih kepada para programer YouTube yang telah menyediakan pintu masuk ke dunia musik yang hampir tak terbatas. Dari YouTube-lah saya menemukan “penjual ekstasi” bernama Dhafer Youssef, musisi asal Tunisia. Namanya seperti nama tetangga saya di Lamongan, cuma beda ejaan: Dopir Yusuf.

Ia sebetulnya sudah lama terkenal, bahkan pernah manggung di Indonesia, tapi saya baru mengetahuinya akhir tahun kemarin. Di skena musik, Dopir dikategorikan sebagai musisi jaz. Tapi sebetulnya musiknya melampaui jaz, lebih tepatnya jaz-gambus-psikedelik.

Komposisinya tak ada duanya. Bisa menciptakan pengalaman merinding seperti membaca berita tentang Mohamad Buazizi, orang Tunisia yang membakar diri di tahun 2011 yang kemudian meletuskan revolusi sosial di Tunisia dan merembet menjadi perang saudara di negara-negara Arab. 

Dopir adalah musisi yang unik. Ia tumbuh di keluarga muslim tradisional yang religius. Keluarganya adalah muazin turun-temurun. Mereka diberkahi gen suara Bilal bin Rabah. Masa kecil Dopir dibentuk oleh tradisi qiraah dan azan dari menara masjid.

Tapi Dopir kemudian membelot. Ia tidak melanjutkan tradisi menjadi muazin, malah belajar menyanyi. Saat di pesantren, ia sering mendengarkan musik di radio secara sembunyi-sembunyi. Kegemarannya terhadap musik ini membuat ia tertarik belajar memainkan oud, alat musik petik sejenis gitar gambus.

Sempat berprofesi sebagai penyanyi kawinan, pembelotannya dari tradisi muazin makin jauh ketika ia memutuskan belajar musik ke Austria, Amerika, dan Prancis. Setelah malang-melintang di arena jaz, ia kemudian menggabungkan semua yang dikuasainya. Jadilah komposisi musik yang terdengar seperti jaz yang kearab-araban atau gambus yang kebarat-baratan.

Tapi sejauh-jauhnya ia membelot dari tradisi muazin, Dopir tetap seorang muazin. Bahkan tanpa mengetahui latar belakang Dopir pun, kita bisa melihat pengaruh ini dari musiknya. Di satu waktu, Dopir menyanyikan puisi berbahasa Arab yang mengutip puayat-ayat suci seperti sedang melantunkan qiraah.

Di lain waktu, ia seperti bergumam atau bersenandung tak jelas, kadang menjerit menciptakan lengkingan seperti suara latar film horor. Suara jeritannya bahkan tidak bisa dibedakan dari suara nada tinggi klarinet. Gen muazin tampak dominan di sini.

Salah satu penampilan terbaik Dopir adalah pentas “Dance of the Invisible Dervishes” tahun 2012. Setahun setelah revolusi Tunisia. Judulnya saja menggetarkan: “Tarian Sufi Ghaib”. Di pentas ini ia berkolaborasi dengan dua maestro musik etnik Turki, yakni Aytac Dogan dan Husnu Senlendirici.

Yang pertama adalah maestro kanun, harpa Arabia. Sementara yang kedua adalah maestro klarinet yang punya julukan “utusan Tuhan dalam urusan musik”. Suara alat-alat musik ini seperti menghadirkan kembali peristiwa sejarah penaklukan Konstantinopel dan kejatuhan Andalusia. Mendebarkan sekaligus mengagumkan. Mereka memainkan alat-alat musik seperti para penyair memainkan makna kata-kata.

Di lagu-lagunya, Dopir menyanyikan puisi-puisi sufi Jalaluddin Rumi, al-Hallaj, dan Abu Nawas. Misalnya, di lagu pembuka “Dance of the Invisible Dervishes” Dopir menyanyikan puisi kontroversial Abu Nawas yang mengutip al-Quran, “Fawaylun lil mushallin.” (Arti harfiahnya: Maka celakalah orang yang shalat).

Di Indonesia, Abu Nawas dikenal sebagai tokok yang kocak dan banyak akal. Padahal sebetulnya dia adalah penyair kontroversial yang sering membuat murka para pemimpin agama.

Di lagu ketiga yang berjudul Kafartu, Dopir menyanyikan puisi kontroversial al-Hallaj, “Kafartu bi dinilllah”. Arti harfiahnya, “Aku kufur terhadap agama Allah”. Al-Hallaj juga adalah tokoh sufi kontroversial yang sering membuat murka penguasa sampai ia dihukum mati.

Abu Nawas dan al-Hallaj adalah penyair-penyair yang memberontak terhadap pemberhalaan fikih. Seolah mengikuti jejak para penyair itu, Dopir, lewat musiknya, menabrak semua “fikih musik”. Ia menciptakan tarekat musiknya sendiri.

Tarian Sufi Ghaib ini pentas yang lengkap. Tak hanya menyuguhkan musik, Dopir juga memadukannya dengan pentas puisi oleh penyair Tunisia, Awlad Ahmad, yang membacakan puisi-puisi pemberontakan sosial. Syair lengkap berbahasa Arab dan terjemahan Inggrisnya bisa dibaca di sini.

Awlad Ahmad adalah penyair Tunisia kenamaan yang sangat keras menentang rezim Zainal Abidin bin Ali, presiden yang ditumbangkan rakyatnya lewat revolusi setelah Mohamad Buazizi membakar diri.

Salah satu penggalan syairnya:

Mahabenar Engkau, Tuhanku
Para raja itu
Seperti para presiden
Menghancurkan kota-kota yang dimasukinya

Ini adalah kutipan al-Quran, “Innal muluka idza dakhalu qaryatan afsaduha”.

Dari beberapa judul yang dimainkan Dopir, yang paling banyak disukai penggemarnya adalah lagu Soupir Eternel. Di lagu ini, suara lengkingan Dopir seperti sambung-menyambung tanpa batas dengan suara klarinet Husnu. Menegangkan sekali.

Tiap kali mendengar jeritan Dopir atau klainet Husnu, jantung berdebar-debar, khawatir nafas mereka tidak kuat lalu tiba-tiba suaranya seperti balon mbrobos. Untungnya, penampilan mereka sempurna. Tiada cela.

Silakan dinikmati. Mari melayang bersama Rumi, al-Hallaj, dan Abu Nawas.

Covid-19, Ujian Sains buat Muhammadiyah

Tulisan ini dimuat di web IBTimes.id/

Belum lama ini Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan (LKSP) merilis survei dan menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi paling peduli terhadap wabah COVID-19. Sebagai persyarikatan yang matang, Muhammadiyah sepatutnya memaknai itu sebagai fi’il amar daripada isim fa’il. Itu bukanlah sanjungan melainkan tuntutan agar persyarikatan ini istikamah sebagai organisasi yang memang paling sigap menghadapi wabah COVID-19.

Dengan ribuan klinik dan rumah sakit, ditambah sekolah, perguruan tinggi, pesantren, dan masjid yang tersebar di seluruh Indonesia, sudah sewajarnya Muhammadiyah berada di garda depan menangkal wabah. Tapi gelar yang disandangkan terlalu dini justru bisa menipu. Apalagi jumhur ilmuwan memprediksi, wabah ini masih akan berlangsung lama, setidaknya sampai vaksin diproduksi massal. Paling cepat tahun depan.

Sekarang ini pandemi baru gelombang awal. Jika diibaratkan lomba lari, penanganan wabah kali ini serupa lari maraton, bukan lari jarak pendek. Daya tahan dan konsistensi jangka panjang (sikap istikamah) jauh lebih penting daripada kesigapan di awal.

Kita semua sepakat, kunci mengatasi wabah kali ini adalah sains. Setidaknya ini bisa kita lihat dari struktur organisasi Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) yang didominasi oleh kalangan dokter. Tapi yang sering dilupakan adalah bahwa sains sebetulnya tidak hanya sains alam (natural science) melainkan juga sains sosial (social science). Dalam hal wabah kali ini, sains tidak hanya menyangkut ilmu perilaku virus tapi juga ilmu perilaku manusia. Yang terakhir ini kurang mendapat perhatian walaupun ia sebetulnya sama penting dengan yang pertama.

Para ahli epidemiologi sudah memberi pedoman umum pengendalian wabah, yakni 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan) serta 3T (test, trace, treat). Pedoman sains alamnya sudah jelas. Yang masih belum kita kuasai adalah sains sosialnya. Misalnya, bagaimana membuat kebijakan yang efektif agar orang-orang mau mengikuti pedoman di atas. Dalam kaitannya dengan Muhammadiyah, ini berhubungan dengan kebijakan masuk sekolah, masuk pesantren, hingga beribadah di masjid.

  • Sekolah

Sejak pertengahan Juni kemarin sekolah-sekolah dan pesantren Muhammadiyah sudah diperbolehkan masuk. Kebijakan ini sebetulnya sangat berisiko walaupun sudah disertai dengan protokol kesehatan. Jam sekolah memang hanya setengah dari biasanya sehingga siswa bisa dibagi menjadi dua kelompok. Tapi kegiatan belajar masih berlangsung di dalam kelas seperti biasa.

Padahal ada cara yang risiko penularannya lebih rendah, yaitu belajar di luar ruang. Ini sesuai dengan pedoman sains untuk menghindari 3C, yaitu closed spaces (ruangan tertutup), crowded places (kerumunan), dan close-contact (kontak dekat). Selain risiko penularannya lebih rendah, belajar di alam luar sebetulnya lebih menarik.

Daripada terus-terusan di dalam kelas, lebih asyik belajar ilmu reproduksi dari kambing menyusui dan ayam menetaskan telur, atau belajar fotosintesis dengan cara mengamati pohon pepaya yang batangnya lencir miring ke arah cahaya matahari, atau belajar budidaya dengan memberi makan ikan lele. Di sinilah pentingnya Muhammadiyah melibatkan para ahli pendidikan untuk merancang metode belajar era covid dengan risiko penularan yang paling rendah.

  • Masjid

Dalam hal ibadah, Muhammadiyah sejak awal wabah sudah memberikan pedoman jelas mengenai kaifiyahnya. Shalat rawatib, taraweh, hingga salat id dianjurkan di rumah. Tapi tampaknya ada kesenjangan antara sikap resmi organisasi dengan praktik warga Muhammadiyah di lapangan. Banyak masjid Muhammadiyah yang masih melaksanakan jamaah shalat seperti biasa.

Di daerah penulis, sebuah kelurahan yang sudah ada 15 orang positif COVID-19, masjid-masjid Muhammadiyah masih menyelenggarakan shalat seperti biasa. Tidak ada kaifiyah baru. Saf masih seperti biasa. Tak ada penjarangan. Sebagian besar jamaah tidak memakai masker. Jumatan pun di dalam ruang. Halaman yang luas tidak dimanfaatkan untuk melakukan penjarangan saf.

Khatib pun masih berlama-lama ceramah tanpa memakai masker. Padahal khatib adalah orang pertama yang harus pakai masker karena ia berbicara selama puluhan menit dan menghasilkan droplet paling banyak. Kalau masker kain dirasa kurang nyaman dan mengganggu ceramah, takmir masjid bisa menyediakan masker medis yang biasa dijual di apotek. Kalau level khatib tidak memberi teladan kepedulian terhadap COVID-19, tentu kita sulit berharap kesadaran dari para jamaah awam.

Ini semua adalah celah yang bisa menjadi sumber penularan. Dan ini menunjukkan bahwa ikhtiar pencegahan masih perlu ditingkatkan. Kalau biasanya imam selalu mengingatkan pentingnya merapatkan saf dengan aba-aba sawwu shufufakum setiap menjelang shalat, harusnya imam juga bisa melakukan hal yang sama untuk mengingatkan pentingnya “kaifiyah Covid”.

  • Pesantren

Selain sekolah dan masjid, pesantren adalah tempat penularan yang harus sangat diwaspadai. Apalagi pesantren merupakan kombinasi sempurna dari 3C: orang banyak yang berkumpul di dalam ruangan dan berinteraksi sepanjang hari. Bagaimanapun ketatnya protokol kesehatan, kalau ada satu saja sumber penularan yang lolos masuk ke dalam pesantren, ia bisa menciptakan klaster baru seperti yang terjadi di Pesantren Al-Fatah Temboro Magetan atau Pesantren Gontor Ponorogo.

Di Gontor, penularan terjadi dari santri yang kembali ke pesantren dalam keadaan sudah terinfeksi tapi tidak menunjukkan gejala sehingga ia lolos begitu saja di tahap skrining kedatangan. Ia baru dicurigai sebagai pembawa virus setelah ayahnya diketahui positif COVID-19. Penularan dari orang tanpa gejala (OTG) seperti ini bisa terjadi di mana saja. Protokol kesehatan yang ketat pun memang sulit mendeteksi OTG. Ini adalah risiko yang setiap saat harus dihadapi ketika pesantren memutuskan untuk buka kembali.

Ini semua adalah tantangan riil buat Muhammadiyah. Menutup sekolah dan pesantren memang akan sulit diterima khalayak sebab menyusahkan semua pihak, terutama orangtua siswa yang justru kewalahan mendidik anak di rumah. Di sinilah perlunya sains sosial mengambil peran agar pedoman sains alam bisa dikompromikan dengan kondisi sosial di lapangan.

Ini tantangan yang sangat sulit. Kalau sekadar urusan ilmu kedokterannya, kita tinggal mengikuti saja rilis dari Badan Kesehatan Dunia WHO. Tapi masalahnya adalah faktor sosialnya sangat kompleks. Kita berhadapan dengan masyarakat yang sulit patuh, literasi kesehatan yang rendah, belum lagi ditambah faktor ekonomi dan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Tantangannya lengkap.

Tapi justru dari tantangan yang lengkap inilah Muhammadiyah benar-benar diuji apakah bisa menjadi pelopor penanganan COVID-19 seperti hasil survei LKSP. Merancang “kurikulum covidian” memang tidak mudah sebab tidak ada yang bisa dijiplak. Satu-satunya cara adalah, seperti kata WS Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong:

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode

Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan

Kita mesti keluar ke jalan raya

Keluar ke desa-desa

Mencatat sendiri semua gejala

Dan menghayati persoalan yang nyata

Dakwah Blek Rengginang Isi Khong Guan

Versi sedikit lebih pendek, dimuat di Alif.ID

Waktu saya mulai belajar agama, guru-guru ngaji saya (semoga Allah merahmati mereka) sesekali membahas pandangan Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid. Mereka menyebut kedua orang ini sebagai “orientalis”. Quraish Shihab dianggap bukan ulama, Nurcholish Madjid bukan cendekiawan muslim. Saya sendiri waktu itu belum pernah membaca buku mereka.

Baru di semester tiga kuliah saya mulai membaca buku-buku mereka. Perkenalan ini membuat saya berubah pandangan. Saya menganggap Quraish Shihab ulama dan Cak Nur cendekiawan.

Apa yang saya alami ini mungkin juga dialami banyak orang dan bisa menjadi gambaran umum dakwah di masyarakat kita. Pengajian agama sering sekali disampaikan dengan kebencian kepada orang lain yang berbeda pandangan. Isi pengajian tidak bisa sekadar “menurut  pendapat Si Ini begini, menurut  pendapat Si Itu begitu, menurut saya pendapat Si Itu lebih benar karena begini begitu”. Beda pendapat soal fikih kerudung saja bisa sampai berujung dengan vonis sesat, apalagi soal-soal akidah seperti ahmadiyah, syiah, dan sejenisnya. Pembahasan tentang orang syiah biasanya diberi embel-embel “laknatullah alaihi”.

Saya sendiri tidak punya kompetensi mengenai pemikiran sunni-syiah tapi menurut saya urusan laknat biar Tuhan saja yang berkehendak. Kita tak usah ikut memberi rekomendasi. Pengetahuan agama saya cuma level pernah nyantri. Selebihnya, waktu hidup saya lebih banyak untuk belajar sains. Saya melihat agama hanya sebagai gambar besar. Agama harusnya menjadi solusi bagi umat manusia, bukan sumber masalah. Kalau agama cuma dipelihara sebagai pembenaran untuk mewariskan kebencian turun-temurun sampai berabad-abad, menurut saya pengetahuan sains yang sekuler lebih menarik daripada agama seperti itu.

Dalam pandangan saya, agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ini (semoga Allah memuliakannya) indah sekali. Ia mengajarkan hal-ikhwal adiluhung seperti melakukan kebaikan dengan ikhlas, mengajak kebaikan dengan cara ahsan, peduli sosial seolah semua orang ikhwah, berikhtiar sekuat tenaga seperti jihad, lalu berserah diri apa pun hasilnya dengan penuh tawakal, bersyukur ketika menerima hasil yang baik, bersabar ketika menerima hasil yang tidak diinginkan. Adakah yang lebih efektif mengajarkan konsep-konsep ini daripada agama?

Islam adalah agama yang ajarannya melampaui zaman. Istilah orang-orang zaman sekarang: progresif-revolusioner. Ketika orang-orang Arab mengubur hidup-hidup bayi perempuan, ketika laki-laki bisa melampiaskan birahinya kepada perempuan dalam jumlah tak terbatas, ketika orang yang kalah perang dijadikan budak, ketika orang jujur dianggap aneh sampai harus dijuluki “Si Jujur”, ketika orang-orang menyembah berhala dan menganggap dewa-dewa sekadar sebagai penolak bala, ketika semua jenis keburukan merajalela, Nabi Muhammad datang menghentikan semuanya. Itu sungguh agama yang menakjubkan.

Lebih dari itu, agama menawarkan jawaban indah dari pertanyaan yang tidak terjawab oleh sains, yaitu kenapa kita hadir di kehidupan ini. Seandainya pun Tuhan itu hanya imajinasi para nabi, menurut saya agama adalah penemuan paling ajaib sepanjang sejarah peradaban manusia.

Dengan bekal ajaran agama, kita tidak memerlukan kata-kata mutiara dari motivator. Iman saja sudah cukup. Kalau kita sedang menghadapi masalah hidup yang pelik, lalu kita membaca dengan penuh penghayatan “hasbunallah wa nikmal wakil”, bukankah itu nikmat sekali? Allah saja sudah cukup. Dia sebaik-baiknya tempat curhat.

Tidak perlu minum pil penenang apalagi sampai bunuh diri. Cukup menghibur diri dengan senandung shalawat asyghil atau menikmati lagu-lagu Ai Khodijah. Walaupun kita penuh dosa, Tuhan yang rahman rahim itu selalu membuka pintu kapan pun kita datang mengetuknya. Seperti seorang ibu mendekap anaknya yang hilang dan baru saja pulang. Bukankah itu mahamesra?

Tapi hari-hari ini agama lebih sering tampil sebagai dalih untuk mengejek keburukan ketimbang dalil untuk mengajak kebaikan. Lewat grup wasap, fesbuk, tuiter, yutub, kita mudah sekali tertular ajakan kebencian berdalil ayat suci. Yang kubu sana menyebut sini sesat. Yang sini menyebut sana kadrun, tidak punya otak. Sialnya, mereka yang menyebarkan kebencian ini mudah sekali punya pengikut di media sosial.

Sialnya lagi, mereka menyebarkan kebencian itu secara sadar karena menganggap itu sebagai dakwah. Padahal logikanya, berdakwah itu seperti sikap belas kasihan melihat seseorang yang tersesat di hutan. Cukup kita tunjukkan saja jalan yang benar. Kalau dia ngeyel, masak kita harus marah-marah dan memakinya. Toh kalau nanti orang itu kecebur jurang atau diterkam macan, kita tidak bersalah.

Dakwah yang baik harusnya seperti lagu Ari Lasso, “Sentuhlah dia tepat di hatinya.” Kalau kita menganggap sebuah pemikiran agama perlu diluruskan, harusnya kita menggunakan cara dakwah yang billaty hiya ahsan. Bukan dengan mencela mereka sesat tapi dengan argumentasi yang sahih dan empatik. Sahih saja tidak cukup, argumen juga harus empatik karena tujuan dari dakwah adalah agar orang yang didakwahi mengikuti pandangan kita. Iman tak bisa dipaksakan dengan cara marah-marah apalagi ejekan. Bagaimana mungkin seseorang mau menerima ajakan kita kalau kita mencela dia?

Tanpa empati, apa yang kita niatkan sebagai dakwah itu pada akhirnya hanya berupa ejekan. Esensi dakwahnya akan hilang. Soal khilafah, misalnya. Kalau kita hendak mendakwahkan ide khilafah, harusnya kita membangun persaudaraan, bukannya memperuncing perpecahan. Bukankah khilafah itu persatuan umat Islam? Jangan lupa, kalau mau mengajak orang pergi ke sana, tunjukkan bagaimana caranya ke sana supaya tidak tampak cuma seperti sedang bernostalgia mengenang kejayaan masa lalu tapi gagap menghadapi masa kini.

Sebaliknya, kalau kita menganggap ide khilafah tidak relevan, cukup debat saja idenya, tidak perlu mengejek orangnya “baru mualaf”, apalagi menjadikan ungkapan “khilafah solusinya” sebagai olok-olok. Mualaf bisa saja lebih bertakwa daripada pakar kitab kuning. Lagi pula, ide sosialisme saja punya tempat dalam pemikiran Islam, apalagi khilafah. Kalau kita membalas cacian dengan cacian serupa, itu jelas bukan dakwah.

Kita mungkin bisa belajar dari Ibnu Katsir. Di kitabnya al-Bidayah wan Nihayah, saat membahas perang antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, ia bisa bersikap adil tanpa kehilangan pandangan kritisnya. Walaupun ia lebih berpihak kepada Ali, ia tetap menghormati Muawiyah dan menganggapnya tetap memperoleh satu pahala karena kesalahan ijtihad memerangi Ali. Pendapat ini ditutup dengan kesimpulan yang arif: seandainya keduanya tidak berperang, itu lebih baik.

Perselisihan umat Islam saat ini mungkin tidak bisa dianalogikan dengan perselisihan di generasi sahabat Nabi. Pandangan agama kita mungkin banyak dipengaruhi hawa nafsu atau pengetahuan sains yang sekuler. Tapi justru di sinilah masalahnya. Kalau kita gampang menuduh orang lain mengikuti hawa nafsu, kenapa kita tidak curiga kita juga mengikuti hawa nafsu?

Kalau kita membiasakan introspeksi, kita tidak akan mudah melabeli orang lain sesat, ahli neraka, kadrun, kaum bumi datar, “warung padang tengah malam” (maksudnya, gule otaknya sudah habis hehe) dan sejenisnya. Menyampaikan yang baik harus dengan cara yang baik. Ibaratnya, menyuguhkan biskuit Khong Guan dengan wadah blek Khong Guan. Kalau bleknya sudah karatan, walaupun isinya biskuit sungguhan, tetamu mungkin menyangka isinya rengginang.

Wassalam.

Virus Kawan Jokowi

virus kawan jokowiOrang Arab punya peribahasa “Anil mar’i la tas’al wa sal ‘an qorinihi”. Kalau mau menilai seseorang, lihatlah kawan-kawannya. Peribahasa ini kiranya tepat sekali untuk menilai kebijakan Jokowi-Luhut di masa krisis pandemi ini. “Luhut Panjaitan lebih berbahaya dari coronavirus COVID-19,” kata Faisal Basri yang masih Batubara.

Faisal bagi saya adalah satu-satunya tokoh pendukung Jokowi yang masih hanif secara politik sampai sekarang. Dia elang yang terbang sendirian. Tidak punya kepentingan pribadi atau kelompok. Ketika kawan-kawannya sudah mulai pikun dan menjadi burung rumahan; ketika Amien Rais sudah jinak di tangan Prabowo; ketika Goenawan Mohamad sudah jinak di tangan Jokowi, Faisal masih setia menjadi elang.  Walaupun kecewa berat dengan kebijakan Jokowi, ia tetap setia mendukungnya dan konsisten melawan Prabowo. Banyak orang menganggap itu naif, tapi bagi saya itu hanif.

Hari-hari ini ia pasti kecewa berat dengan kebijakan pemerintah dalam menghadapi pandemi. Semua dikendalikan Luhut. Jakarta sudah telanjur menjadi episentrum wabah tapi kebijakan Anies mengisolasi Jakarta justru dibatalkan oleh Luhut. Saya pribadi tidak tega bicara tentang Jokowi karena ia baru saja ditinggal mati oleh ibunya. Tapi di saat seperti ini, saya benar-benar berharap Jokowi menyadari kesalahan terbesar dalam hidupnya: memilih Luhut menjadi sekutu. Ia sudah kehilangan ibunya. Sudah saatnya ia membersihkan diri dari parasit di dekatnya. Orang baik tak bermakna apa-apa kalau ia dikendalikan oleh orang jahat. Karena, seperti pepatah Arab di atas, “Kalau mau menilai Jokowi, lihatlah kelakuan Luhut.”

Saya mengamati, Jokowi sangat percaya kepada ilmu kejawen. Ia sudah kehilangan orang yang paling banyak mendoakannya dan memberinya tameng spiritual. Sudah saatnya ia membersihkan diri. Kalau tidak, ia mungkin akan mengakhiri periode keprabonannya dengan wirang.

Dulu di tahun 2014, saya membayangkan Jokowi akan membentuk pemerintahan sipil yang dikendalikan generasi baru seperti Faisal Basri dan Anies Baswedan. Prabowo tamat. Wiranto khatam. Luhut selesai. Tapi Jokowi justru memilih jalan sebaliknya. Faisal didepak. Anies disepak. Ia memilih Luhut sebagai sekutu seumur hidupnya.

Dan para pendukungnya, bahkan dari kalangan cendekiawan sekelas Goenawan Mohamad, menjadi seperti kerupuk masuk angin, tak berani mengingatkan kesalahan junjungannya. Mereka hanya bisa mempresidenkan Jokowi tapi tidak bisa membersihkan Presiden dari para penjahat. Bagi saya, semua kekacauan pemerintah hari ini, penyakit utamanya adalah Luhut. Terawan hanyalah gejala. Dan Jokowi hanyalah kamuflase.

Virus korona bisa menjadi titik penting bagi Indonesia. Banyak pendukung oposisi yang mengharapkan wabah ini menjadi jalan runtuhnya pemerintahan Jokowi. Bagi saya, ini pikiran yang jahat. Biaya yang kita tanggung dari runtuhnya pemerintah akan jauh lebih besar daripada wabah virus itu sendiri. Lebih baik kita fokus pada penyakit utamanya saja, bukan gejala kamuflasenya. Amputasi Luhut. Itu biayanya sangat ringan dan saya yakin akan menyelesaikan banyak masalah.

Ini aspirasi saya yang sudah diwakili oleh Faisal Basri. Semoga Jokowi sadar. Kalau tidak, sejarah akan mencatat Jokowi dari kejahatan kawan-kawannya. Virus “qorina” (kawan-kawannya) jauh lebih berbahaya daripada virus korona.

Doa Antivirus dan Sikap Antisains

islam_science

Pandemi COVID-19 membuktikan banyak orang beragama masih antisains. Padahal selama ini kita bicara muluk-muluk: kebangkitan umat Islam, islamisasi sains.

Hingga akhir Februari, ketika negara-negara di dunia sudah mengumumkan kasus COVID-19, pemerintah Indonesia masih yakin bahwa negeri berpenduduk seperempat miliar ini bebas dari virus korona. Wakil Presiden Ma’ruf Amin bilang bahwa Indonesia bebas virus korona berkat doa qunut para kiai.

Pernyataan ini menarik karena diucapkan oleh wakil presiden, ketua Majelis Ulama Indonesia, mantan rais aam Nahdlatul Ulama. Artinya, ucapan ini bisa dibilang mewakili jutaan orang Islam Indonesia.

Saat itu Badan Kesehatan Dunia WHO sudah memperingatkan seluruh dunia akan ancaman pandemi COVID-19 karena sifat penularannya yang sangat mudah antarmanusia. Dokter-dokter di Indonesia juga sudah mengkhawatirkan adanya kasus yang tak terdeteksi. Apalagi laporan mengenai kematian pasien yang menunjukkan gejala mirip COVID-19 juga sudah ada. Pendek kata, secara ilmiah sulit sekali diyakini Indonesia akan secara misterius kebal dari pandemi sementara seluruh dunia kelimpungan.

Meyakini doa qunut bisa mencegah wabah tentu bagian dari iman. Kalau urusannya sudah menyangkut iman, tak ada hal yang mustahil untuk diyakini. Sebagaimana dulu Ustaz Yusuf Mansyur meyakini bahwa nilai tukar rupiah bisa dijadikan Rp10.000 per dolar Amerika dengan doa bersama selama 40 hari yang disiarkan langsung di 7 stasiun televisi.

Iman seperti ini tentu tidak untuk diperdebatkan, apalagi dicemooh. Sebagian dari kita mungkin menganggap itu konyol, tapi itulah iman. Ma’ruf Amin dan Yusuf Mansur mengucapkan demikian karena memang mereka benar-benar yakin doa bisa mendatangkan keajaiban seperti itu.

Iman tak bisa diganggu gugat dan memang tak perlu. Itu hak mereka. Yang perlu kita lakukan hanyalah membuat kesepakatan dengan orang-orang aneka iman untuk membuat batas antara iman personal dan perilaku publik. Yusuf Mansur boleh saja mengusulkan doa bersama. Toh itu hanya usul. Tidak berbahaya. Ia bukan pengambil kebijakan publik. Buat apa dicemooh? Unfaedah.

Ma’ruf Amin juga boleh saja yakin dengan kekuatan qunut. Tapi kali ini situasinya berbeda karena ia adalah wakil presiden, penentu kebijakan publik. Ia boleh saja yakin doa para kiai pasti bisa mengusir virus korona, tapi ia harusnya menyimpan keyakinan itu di rumahnya. Begitu masuk dinas, ia harus menggunakan asumsi paling buruk, yaitu Tuhan tidak mengabulkan doa qunut para kiai. Doa boleh menggunakan asumsi terbaik tapi kebijakan harus menggunakan asumsi terburuk. Inilah yang harus disepakati.

Sikap Antisains

“Hadis lockdown” memberi pelajaran penting bahwa Nabi Muhammad, walaupun doanya langsung menembus langit, tetap melakukan ikhtiar sesuai ilmu kesehatan dengan dasar asumi terburuk. “Jika kalian mendengar wabah di suatu tempat, janganlah kalian memasukinya. Jika terjadi wabah di tempat kalian, jangan tinggalkan tempat itu.”

Dalam kasus wabah virus, ikhtiar tentu saja harus sesuai dengan ilmu kedokteran. Dokter ahli epidemiologi adalah ulama di bidang wabah dan WHO adalah majelis ulamanya. Tapi sampai saat ini banyak orang Islam yang tidak bisa menerima ilmu kedokteran karena alasan iman. Ini sebetulnya mengkhawatirkan. Di tengah wabah, banyak kiai yang tetap menggelar pengajian akbar. Yang lucu, isi pengajiannya adalah pembagian ijazah (doa) antivirus. Padahal acara akbar jamaah tabligh di Malaysia sudah memberi contoh gamblang. Acara kongres keagamaan ini telah menjadi media penularan virus terbesar di Malaysia, yang bahkan menyebar ke Singapura, Indonesia, India, hingga ke Palestina.

Banyak pula orang Islam yang tidak menggubris upaya pencegahan wabah ini karena menganggap kematian ada di tangan Tuhan. Ada atau tidak ada virus korona, toh manusia akan mati juga. Bahkan ada keluarga yang nekat memaksa membawa pulang jenazah keluarganya yang sudah dibungkus plastik karena dicurigai kena COVID-19 untuk dimandikan seperti biasa. Lagi-lagi ini iman. Tidak bisa digugat. Tapi sikap ini jelas membahayakan publik di sekelilingnya karena wabah bukan urusan kematian mereka saja tapi juga orang-orang di sekitarnya.

Sikap antisains lain adalah percaya kepada aneka teori konspirasi. Barangkali ini bagian yang paling lucu dari wabah COVID-19. Orang Cina dan Iran menuduh virus korona buatan Amerika. Orang Amerika menuduh balik Cina. Orang Indonesia, seperti biasa, menuduh orang Yahudi. Ini setidaknya bisa kita lihat dari video pengajian yang banyak beredar di media sosial. Padahal tuduh-menuduh adalah urusan serius dalam agama. Menuduh tanpa bukti adalah kejahatan, apalagi ini menuduh sebagai pencipta wabah. Kalau kita punya bukti seperti hasil ivestigasi kamp konsentrasi orang Uighur, barulah kita boleh menuduh.

Faktanya, semua tuduhan di atas adalah dugaan. Sains bilang, sejauh ini kita belum tahu bagaimana virus itu muncul. Semua masih sebatas dugaan. Mungkin saja virus itu memang dibuat oleh agen rahasia Cina, Amerika, Israel, Illuminati, atau siapa saja. Tapi semua tuduhan itu adalah imajinasi. Beriman seperti ini memang enak sekali. Gampang dan menyenangkan sebab selalu ada iblis yang bisa dikutuk atas semua persoalan yang kita hadapi. Tapi itu hanya akan membuat kita tidak beranjak ke mana-mana. Sampai akhir zaman pun penjelasan atas semua hal cuma ini-ini saja. Era Ibnu Sina tidak mungkin ada lagi.

Kalau semua-mua hal bikinan Illuminati, lantas bagaimana kita menjelaskan kasus flu burung Indonesia tahun 2006 lalu yang virusnya muncul begitu saja di ayam-ayam kampung di Parung Serab, Tangerang? Apakah ini bisa dijelaskan juga dengan nubuat di buku Iqro:  qorona kholaqo zamana kadzaba?

Alasan Pilih Anies yang Tidak Logies

ar baswedan

Alasan-alasan ini dirangkum dari para pendukung Anies, mulai dari level grup WA rakyat jelata sampai level narasumber acara ILC Bang Karni.

  • Anies cucu pahlawan

Menjual nama besar orang lain adalah kebiasaan primitif dalam tradisi politik Indonesia. Inilah yang dilakukan oleh Megawati selama puluhan tahun. Dia menjual nama besar ayahnya padahal dia sekadar anak biologis, bukan anak ideologis Bung Karno. Yang harusnya kita nilai dari seorang pejabat publik adalah kebijakan publiknya, bukan siapa kakeknya atau siapa ayahnya. Kalau Anies cucu seorang pahlawan, apakah lantas ia juga pasti akan mewarisi kepahlawanan kakeknya? Sama juga kalau Megawati anak Bung Karno, apakah ia juga pasti akan mewarisi marhaenisme? Logika keturunan pahlawan ini justru membuat kita tidak pergi ke mana-mana. Terjebak politik dinasti.

Saya justru berpikir sebaliknya. Jika, misalnya, umpamanya, katakanlah ada orang yang kualitasnya sama dengan Anies Baswedan tapi silsilah orangtuanya tidak jelas, saya tanpa ragu akan lebih memilih anak orang tidak jelas itu daripada Anies. Ini bentuk penghargaan atas kesetaraan manusia. Wajar saja Anies mencapai posisinya yang sekarang karena keluarga besarnya aktivis terpelajar. Yang istimewa adalah jika seorang anak dari keluarga yang tidak jelas bisa mencapai kualitas selevel anak dari keluarga aktivis dan guru besar.

Terpilihnya Jokowi sebagai presiden itu sudah benar dalam hal bahwa dia bukan siapa-siapa tapi bisa mengalahkan seorang jenderal. Artinya kita semua punya kans menjadi presiden. Itu tanda kemajuan evolusi peradaban. Jangan sampai ini dibawa mundur lagi. Perkara Jokowi ternyata mengecewakan, itu soal lain. Bukan karena orangtuanya tidak jelas.

  • Anies doktor lulusan Amerika, pintar bahasa Inggris

Sekali lagi, yang harusnya kita nilai dari seorang pejabat publik adalah kebijakan publiknya, bukan lulusan mana atau berapa skor TOEFL-nya. Akui saja, logika ini muncul karena presiden saat ini adalah orang yang kita benci, yang kebetulan tidak pintar berbahasa Inggris. Jangan sampai kebencian kita kepada Jokowi membuat kita berlogika miring.

Sebutan “plonga-plongo” menurut saya lahir dari sikap kefadlizon-fadlizonan karena kita semua merasa lebih pintar dari Jokowi. Kemampuan berbahasa Inggris memang diperlukan dalam tugas seorang presiden. Tapi itu bukan yang utama. Urgensi kompetensinya saya kira hanya sekitar 1%. Toh ada menteri, penerjemah, staf ahli.

  • Anies sederhana

Ini sama dengan logika pendukung Jokowi level kemeja 100 ribu. Logika yang tidak boleh diterapkan pada Jokowi harusnya juga tidak boleh diterapkan pada Anies. Itu namanya adil.  Sikap sederhana itu jelas baik. Tapi sekali lagi, yang harusnya kita nilai dari seorang pejabat publik adalah kebijakan publiknya, bukan harga kemejanya. Apa artinya kesederhanaan seorang presiden kalau kebijakannya lebih berpihak kepada konglomerat Luhut & Rekan?

Sikap sederhana itu menjadi bermakna kalau itu juga tercermin dari kebijakan publiknya, misalnya mengutamakan transportasi publik daripada bikin jalan tol. Kesederhanaan di level kemeja tidak akan bermakna apa-apa kalau sang presiden sok-sokan bikin kereta cepat Bandung-Jakarta (yang sama sekali tidak penting) dan membangun ibukota baru (yang sama sekali tidak mendesak), sementara subsidi BPJS Kesehatan yang merupakan kebutuhan primer saja dicabut.

  • Anies orang baik beneran, gak seperti yang itu

Stempel “orang baik” mungkin adalah tipuan paling ngehek dalam sejarah pemilu kita. Dan orang yang menciptakan tipuan itu adalah Anies Baswedan sendiri. Lalu sekarang para pendukungnya hendak menjadikan ini sebagai dasar untuk mengajak orang memilih Anies. Apakah ada yang lebih lucu dari ini?

Saya sendiri yakin Anies orang baik. Tapi sekali lagi, yang harusnya kita nilai adalah, mari lafalkan pelan-pelan: KE-BI-JA-KAN-PUB-LIK. Kalau sekadar status orang baik, saya pun orang baik. Tapi kebaikan personal saja tak ada artinya kalau kebijakannya disetir oleh orang jahat. Dalam hal Anies, seandainya dia memang akan menjadi presiden berikutnya, saya pribadi mengkahawatirkan kebijakannya akan dipengaruhi oleh balas budinya kepada pengusungnya. Mungkin Prabowo, mungkin partai-partai politik, mungkin kubu Habib Rizieq.

  • Anies ganteng

Walaupun ini sekadar lucu-lucuan, logika ini bagaimanapun adalah cermin alam bawah sadar kita yang masih menilai segala sesuatu dari tampilan fisiknya. Padahal, sekali lagi yang harusnya dinilai dari seorang pemimpin adalah kebijakan publiknya, bukan tampangnya. Kalau Anda merasa jengkel tiap kali melihat foto Jokowi, mari saya beri tahu, itu bukan karena Jokowi tampangnya ndeso tapi karena ia adalah orang yang Anda benci. Kalau kebencian sudah menguasai pikiran, orang setampan Anies pun bisa kelihatan seperti Joker. Kalau tak percaya, tanyakan saja kepada Ade Armando.

Ganteng itu seratus persen anugerah Tuhan. Anies sejak kecil sudah ganteng. Lihat saja fotonya di atas. Menjadi ganteng  tidak perlu ikhtiar. Berbeda dengan membuat kebijakan publik yang butuh ikhtiar. Kalau ketampanan menjadi pertimbangan dalam urusan memilih pemimpin, artinya kita mengalami keterbelakangan evolusi.

Tampang tak ada hubungannya dengan kebijakan. Bahkan bisa menipu dan mengecewakan. Dulu orang-orang menyangka, Jokowi yang tampangnya ndeso itu kebijakannya akan berpihak kepada petani, orang miskin, dan rakyat sipil. Tapi kita melihat sebaliknya. Subsidi dicabut, impor pangan ugal-ugalan, kursi sipil diberikan kepada polisi dan tentara.

Sebelum Jokowi, kita punya presiden yang tampangnya sama sekali tidak fotogenik. Sebelah matanya merem. Badannya bulat. Ke mana-mana dituntun. Tapi dia satu-satunya presiden sipil yang berani melawan dominasi tentara di kursi pemerintahan sejak masa Pak Harto. Kebijakan seperti inilah yang kita perlukan dari presiden, tak peduli tampangnya.

Kebijakan publik jugalah yang harusnya menjadi dasar kita menilai Anies. Saya pribadi berpendapat, Anies belum masuk kategori pemimpin yang progresif. Tapi saya akan memilihnya karena selama ini ia konsisten menjadi juru koreksi. Kebijakannya menghentikan reklamasi dan penggusuran paksa saja menurut saya sudah menyumbang 80% dari bobot seorang gubernur.

Reklamasi dan penggusuran paksa secara terang-benderang melawan keadilan sosial. Pemerintah seperti menyerahkan tali kekang kekuasannya kepada konglomerat dengan imbalan berupa rumah susun dan jalan raya. Warga miskin dianggap seperti sampah yang merepotkan. Padahal dalam negara yang beradab, aspirasi satu orang penjual lemper sama bobotnya dengan aspirasi seorang developer. Itu sebabnya di bilik pemilu, suara seorang nelayan dihitung sama dengan suara Aguan.

Dalam hal kebijakan transportasi, Anies juga menunjukkan keberpihakannya pada pengguna jalan sesuai prioritas. Prioritas pertama diberikan kepada angkutan umum, pejalan kaki, dan pengendara sepeda ontel. Setelah itu baru kendaraan bermotor pribadi. Ini skala prioritas yang adil tapi diabaikan oleh gubernur-gubernur sebelumnya.

Dalam hal mengatasi banjir, mungkin Anies tak bisa berbuat banyak karena faktor utama banjir adalah sesuatu yang tak bisa diubah seperti faktor alam dan desain Jakarta yang sudah jadi. Tapi dalam hal naturalisasi versus normalisasi, menurut saya Anies sudah adil. Menanam pohon di sepanjang bantaran sungai mungkin dampaknya tak seberapa dibanding debit air bah dari Bogor yang begitu kolosal. Tapi setidaknya itu adalah sikap yang lebih bersahabat dengan alam daripada membeton sungai. Kalau kubu Anies mengklaim telah berhasil menurunkan tingkat keparahan banjir, menurut saya itu lebay.

Dalam hal pemberantasan korupsi, Anies juga menunjukkan komitmennya yang jelas. Ketika KPK disuntik mati oleh Jokowi, Anies justru memberi tempat bagi mantan petinggi-petinggi KPK di dalam timnya.

Soal-soal lain seperti pemugaran Monas , pemugaran TIM, balapan mobil listrik itu saya kira sama sekali tidak penting dan tidak mendesak. Mungkin itu hanya proyek mercusuar yang berangkat dari keinginan untuk dikenang. Harusnya energi Pemprov DKI dikerahkan habis-habisan untuk menimimalkan banjir dan membuat transportasi publik yang andal.

Tapi secara keseluruhan, kebijakan Anies masih bisa diharapkan. Dan karena itulah Anies masih layak diharapkan sebagai juru koreksi atas ke(tidak)bijakan Jokowi, Luhut & Rekan.

Izinkan Pak Amien Tak Lagi Menjadi Rais

amin 998

Hari-hari ini media ramai memberitakan sesuatu yang memalukan. Peserta kongres Partai Amanat Nasional saling lempar kursi.

Saya bukan simpatisan PAN. Tapi saya bersekolah di sekolah Muhammadiyah. Keluarga besar saya Muhammadiyah. Bersekolah, mengaji di perguruan Muhammadiyah. Kalau sakit, berobat ke klinik Muhammadiyah. Berlebaran mengikuti Muhammadiyah. Bagi mereka, Pak Amien Rais adalah panutan abadi walaupun ketua Muhammadiyah sudah bergonta-ganti.  Di tiap pemilu mereka selalu memilih PAN. Dan sudah bisa ditebak, di dua pemilu terakhir mereka menjadi pendukung garis keras Prabowo. Sesuatu yang membuat saya “gagal paham”—ini idiom ciptaan Pak Amien Rais yang paling saya ingat.

Selesai pemilu, bisa ditebak lagi, mereka semua mengalami depresi. Stres karena kalah. Marah tiap kali mendengar berita tentang pemerintahan Jokowi. Ketika akhirnya Prabowo bersekutu dengan Jokowi, mereka masih juga tidak menyadari kekeliruannya selama ini.

Mereka marah ke segala arah. Marah kepada Jokowi. Marah kepada Prabowo.Tapi entah bagaimana, saya justru merasa lebih jengkel kepada Amien Rais. Mungkin para  ahli psikologi perlu meneliti kelainan jiwa seperti yang saya alami ini. Saya selalu merasa Pak Amienlah yang harus bertanggung jawab atas depresi yang dialami keluarga saya selama enam tahun terakhir dan empat tahun ke depan. Sebab dalam pandangan saya, dialah yang telah mengajari kami politik kebencian, sesuatu yang menghancurkan hidup kami. Kalau Pak Amien saja menyebut lawan politik sebagai dajjal dan setan, bagaimana dengan orang-orang Muhammadiyah yang menjadikannya panutan? Kata ganti dajjal dan setan hanya akan membuat orang-orang religius tidak mau mengakui bahwa kekalahan politik itu pada dasarnya adalah cermin kegagalan dakwah.

Di suatu masa, saya pernah sangat mengagumi Pak Amien ketika membaca bukunya Cakrawala Islam. Tapi praktis setelah gelombang reformasi, saya selalu gagal paham dengan pilihan-pilihan politiknya. Saat Pak Habibie (semoga Allah merahmatinya) menjabat sebagai presiden, Pak Amien bertindak seperti orang yang haus kekuasaan dan menuntut Pak Habibie segera mengakhiri pemerintahannya dan menggelar pemilu. Seperti orang yang kebelet jadi presiden. Kelak kita tahu, Habibie adalah presiden Indonesia terbaik sejauh ini—setidaknya menurut saya.

Ketika Pak Amien menggalang kekuatan menjatuhkan Gus Dur, saya menganggap itu licik walaupun mungkin sah. Licik karena toh Pak Amien jugalah yang sebelumnya menggalang poros tengah untuk menjegal Megawati karena ia tidak bisa menerima kekalahan dari PDIP. Saya kira sampai sekarang pun dendam orang-orang NU kepada Pak Amien (juga kepada Muhammadiyah secara tidak langsung) masih belum hilang. Dendam yang mestinya tidak perlu terjadi.

Di Pemilu 2014 Pak Amien dengan modal kharismanya menggiring orang-orang Muhammadiyah untuk menjadi pendukung garis konyol Prabowo. Sesuatu yang lagi-lagi saya gagal paham. Bagaimana mungkin Muhammadiyah yang ajarannya mengutamakan akhlak itu diseret untuk mendukung seseorang yang sekadar punya uang dan kuasa? Satu-satunya penjelasan logis yang saya pahami adalah kebencian kepada Jokowi.

Logika “pilihannya hanya dua” itu sungguh sulit dipahami karena PAN masih bisa mengusahakan untuk menentukan jumlah pilihan. Pada saat mengikuti konvensi Partai Demokrat, Anies Baswedan berusaha mencari dukungan dari PAN. Tapi kita tahu nasibnya. Anies tidak punya uang, partai, dan kekuasaan. Saya kira ini salah satu alasan kenapa Anies kemudian lebih memilih Jokowi. Politik sakit hati.

Di pemilu 2019, lagi-lagi Pak Amien masih juga menyeret orang-orang Muhammadiyah untuk mendukung Prabowo. Kembali. Untuk kedua kalinya. Kali ini saya sudah tidak hanya gagal paham tapi sudah gagal waham. Sampai saya curiga, apakah saya memang menderita sakit jiwa sehingga tidak bisa memahami logika semua orang di sekeliling saya?

Ketika PAN mendukung Prabowo di tahun 2014, itu mungkin masih bisa dipahami karena tingkat keterpilihan Prabowo sedang tinggi. Tapi memilihnya lagi di tahun 2019 itu… ya ampun! Bahkan survei yang dilakukan Eep Fatah, YANG DIBAYARI OLEH PAN, hasilnya pun menunjukkan Prabowo tidak pernah bisa mengalahkan Jokowi. Survei Eep inilah yang membuat saya yakin bahwa saya tidak mengidap sakit jiwa. Tapi surve ini juga yang membuat saya curiga, jangan-jangan mengidap sakit jiwa justru lebih menyenangkan daripada sepanjang hari harus mengutuk keadaan.

Semua orang (pura-pura tidak) tahu, kubu Jokowi lebih takut kepada Anies daripada Prabowo. Sampai-sampai Jokowi mendadak membuat aturan main yang licik buat gubernur yang mau nyapres. Tapi politik kebencian sudah telanjur menguasai pikiran orang-orang yang konon religius itu. Orang marah memang lebih mudah dikalahkan sebab mereka hampir selalu membuat keputusan yang salah. Apalagi marah dan tak punya uang sekardus. Maka hasilnya, dua kali pemilu, orang-orang Muhammadiyah harus menjadi tumbal dari ambisi Prabowo. Dan tak ada yang merasa bersalah.

Maka jika sekarang orang-orang saling melempar kursi, itu mungkin hanya buah kecil dari pohon yang ditanam Pak Amien selama ini.

Saya kira orang-orang Muhammadiyah harus mulai menyadari bahwa era Pak Amien sudah selesai. Pak Amien sudah tidak sakti lagi. Sekarang bukan era adu orasi di mimbar demonstrasi tapi era adu argumentasi di mimbar demokrasi. Yang dibutuhkan di masa kini bukan “Rais” (pemimpin) yang sekadar pemberani tapi yang juga cendekia, seperti Ketua Muhammadiyah zaman dulu, Muhammad Amien Rais, sebelum tahun 1998.

El Mighwar, Musik Puisi yang Harus Dinikmati Sebelum Mati (Bagian ke-7)

Nama grup musik gambus El Mighwar saat ini mungkin belum begitu terkenal. Kalah jauh dari grup musik gambus Sabyan yang lagunya diputar dan dinyanyikan di mana-mana, mulai dari acara kemantenan sampai kampanye. Tapi menurut saya, lagu-lagu El Mighwar lebih indah dan lebih menyentuh daripada lagu-lagu Sabyan. Sabyan memang merdu tapi El Mighwar indah.

Sabyan menurut saya lebih cocok buat anak-anak muda. Sesuai dengan tampilan Nissa Sabyan yang gaul. Sementara El Mighwar lebih cocok buat orang-orang yang sudah melewati separuh hidupnya. Sesuai dengan tampilan Ai Khodijah yang lebih dewasa dan tenang. Lagu-lagunya sangat pas digunakan sebagai soundtrack nostalgia mengenang masa muda sembari menghitung dosa-dosa.

El Mighwar seperti datang terlambat, mengisi kekosongan musik religi setelah ditinggal Opick kawin lagi. Grup gambus dari Bandung ini spesialis membawakan ulang (meng-cover) lagu puji-pujian kepada Nabi Muhammad. Suara Ai Khodijah yang bening membuat alunan shalawat bisa menciptakan susana hati seperti seseorang yang diliputi rasa rindu untuk pulang ke tempat hatinya tertambat. Buat orang yang sangat terpengaruh oleh teori Grand Design Stephen Hawking seperti saya, nyanyian Ai Khodijah bisa menciptakan suasana seperti (dalam ungkapan Jalaluddin Rumi) “buluh seruling bambu yang rindu kembali kepada rumpunnya”.

Tanpa iringan piano pun nyanyian Ai Khodijah sudah melampaui keindahan musik. Apalagi yang dinyanyikan itu adalah puisi cinta kepada manusia mulia, yang kepadanya kita semua berhutang ilmu dan kearifan. Nabi Muhammad adalah manusia saujana yang melintasi batas agama. Bahkan orang yang tidak percaya surga dan neraka pun saya kira harus berterima kasih kepadanya. Tanpa ajaran Nabi Muhammad, tak ada ilmuwan-ilmuwan muslim yang mengajari umat manusia cara mengamati alam semesta.

Ringkasnya, tak ada satu orang pun di dunia ini yang punya alasan tidak mengucapkan terima kasih kepada Nabi Muhammad. Melalui senandung shalawat, El Mighwar mengajak kita mengucapkan terima kasih itu dengan cara yang indah. Dan Ai Khodijah adalah sejati-jatinya penyanyi kasidah.

• Law Kana Baynanal-Habib

Ini lagu El Mighwar yang membuat saya jatuh cinta pada pendengaran pertama. Sebelum mendengarkan lagu ini di sebuah acara kemantenan, saya menyangka bahwa saya akan menghabiskan sisa hidup dengan iringan lagu-lagu lawas karena Tuhan sudah berhenti menciptakan penyanyi yang sesuai dengan kimia otak saya. Ternyata saya keliru.

Law kana baynanal habib. “Seandainya Sang Kekasih itu masih ada di antara kita, pasti segala sesuatunya lebih indah.” Adakah orang Islam yang tidak merasa syahdu mendengarkan senandung ini?

Bagi saya, lirik shalawat ini bukan bahasa Arab tapi bahasa universal keindahan Tuhan yang dimengerti semua orang. Dari semua versi lagu cover yang ada di Youtube, termasuk versi cover Nissa Sabyan, bagi saya versi Ai Khodijah ini yang paling merdu. Bahkan lebih merdu daripada ketika dibawakan oleh penyanyi aslinya, yang pertama mempopulerkan shalawat ini.

Di versi aslinya, suara alat-alat musik seperti mengajak pendengarnya bergoyang kaki. Ini justru mengurangi keindahan dan keagungan liriknya. Sebab senandung ini lebih khusyuk direnungi seperti membaca puisi. Sambil merem melek seperti Ai Khodijah.

Lirik kasidah ini membuat saya begitu penasaran sampai berusaha mengadaptasinya dalam versi terjemahan sederhana. Siapa tahu nanti Ai Khodijah mau membawakan versi adaptasi saya ini. Sesuai dengan lirik aslinya yang berima dan terdiri dari delapan suku kata per baris, saya juga berusaha menerjemahkan dengan rima “i” seperti lirik Arabnya dengan delapan suku kata per baris.

Andai kau di sisi kami//Yang jauh ‘kan menghampiri// Mengharap jiwa bestari// Ingin dekat dengan Nabi

Di dekatmu jiwa damai// Doa pun diijabahi// Cahayamu tak ‘kan usai// Pertemukan kami, Rabbi

Petunjukmu tuntun kami// Menuju rahmat ilahi// Ucapanmu bagai sungai// Di dekatmu kami b’rseri

Padamu kami tergadai// Muhammad yang menghormati// Di sampingmu bersih hati// Rahmat s’mesta alam ini

Wahai kasihku Muhammad//P’lipur lara yang terpuji// Kemulyaanmu teruji// Allah jalla pun memuji

• Waqtu Sahar

Lagu ini bercerita tentang masa kedatangan bayi Muhammad yang lahir pada dini hari di waktu sahur. Menurut riwayat, kelahiran bayi Muhammad didahului oleh peristiwa-peristiwa nubuat berupa runtuhnya berhala-berhala di Kakbah dan padamnya api sesembahan kaum majusi di Persia. Kisah ini dimasukkan ke dalam syair kasidah di bagian akhir. Bukan bagian dari terjemahan syair Arabnya.

Dengan vokal syahdu Ai Khodijah, senandung ini benar-benar bisa menciptakan suasana syukur seperti ketika kita merayakan kelahiran seseorang yang kita cintai.

• Huwan-Nur

Syair shalawat ini diambil dari kitab klasik Simthud Duror, karya ulama dari Yaman, Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Namanya mungkin terdengar mirip dengan nama habib-habib yang sering muncul di berita-berita hari ini karena memang mereka itu masih keturunannya di Indonesia. Shalawat ini biasa dinyayikan di pengajian-pengajian shalawat yang dipimpin oleh para habib. Ketika dinyanyikan ulang oleh El Mighwar, shalawat ini seperti menemukan khalayaknya yang lebih luas, tak hanya orang-orang religius, tapi juga mereka yang tidak bisa membedakan nama-nama habib seperti saya.

• Adlfaita

Ini lagu El Mighwar yang paling saya sukai. Shalawat ini berisi puji-pujian kepada akhlak Nabi Muhammad sekaligus doa minta diberi kemampuan meneladainya. “Apakah setetes air bisa meneladani luasnya samudra?” Liriknya sangat sulit diterjemahkan dengan tetap mempertahankan rima dan suku kata. Saya hanya bisa mengadaptasinya dengan terjemahan sederhana:

Kau tercipta sebagai nirmala// Seperti semerbak wangi bunga// Baguskan akhlak kami, Rabbuna// Sucikan ia agar tak bernoda

Jadikan sabarnya teladan kami// Indah akhlaknya sbagai lentera// Baguskan akhlak kami, Rabbuna// Hamba berakhlak mulia utama

Allah slalu memuji akhlaknya// Yang terpuji dan yang tepercaya// Dia sempurnakan adab rasul-Nya// Termulia dari sluruh makhluk-Nya

Kasidah ini tergolong sulit dinyanyikan karena butuh nada suara yang sangat rendah lalu berubah sangat tinggi. Tapi Ai Khodijah mampu membawakannya dengan tenang tanpa cela sama sekali, tanpa kesan mendayu-dayu. Walaupun tak ada suara latar dan hanya dengan iringan alat musik seadanya, nyanyian Ai Khodijah ini tak kalah indah daripada versi aslinya, yang dibawakan oleh qari asal Kuwait, Syekh Mishary Rashid Alafasy.

• Innal Habibal Musthofa

Shalawat ini biasa dibaca sebagai pengantar doa minta kesembuhan. Terjemahan bebas syairnya, “Sesungguhnya kekasih yang terpilih itu lembut hati serta mulia. Menyebut namanya adalah doa kala mala.” Ai Khodijah membawakannya dengan penuh penghayatan. Bahkan mendengarkannya saja kita bisa merasa tenang dan pasrah menerima semua kehendak Tuhan.

Rhoma Adalah Dewa, Kita Semua Adalah Hamba Sahaya

Musik-Puisi yang Harus Dinikmati Sebelum Mati (Bagian-4)

Jika saya harus memilih satu saja musisi paling hebat se-Indonesia, tanpa ragu saya akan menyebut Haji Oma Irama. Iwan Fals dan Ebiet G Ade juga musisi hebat tapi saya kira tak ada yang menyamai pencapaian Oma Irama dalam hal kemasyhuran dan kesesuaian karya musiknya dengan kondisi psiko-sosial budaya Indonesia.

Saya mendengarkan musik Oma Irama praktis sepanjang hidup. Sejak kecil hingga saat ini, menjelang akhir hayat. Seiring dengan bertambahnya umur, saya mengenal aneka jenis musik tapi itu tak membuat saya meninggalkan Soneta. Walaupun saya mendengarkan Pink Floyd, Radiohead, Porcupine Tree, hingga Fairuz, saya masih tidak berhenti menikmati lagu-lagu Oma Irama. Bagi saya, tidak ada satu kata yang lebih baik untuk menilai dangdut Bang Haji ini selain kata “jenius”.

Tapi saya amati, anak-anak muda sekarang malu mendengarkan Oma Irama. Mungkin mereka mengaggap dangdut Oma Irama sebagai musik udik. Tampaknya ini karena mereka tidak bisa membedakan urusan musik dengan kehidupan pribadi penyanyinya. Betapapun saya sering merasa geli melihat laku hidup Bang Haji, itu tak mengurangi apresiasi saya terhadap kejeniusan karya musiknya.

Salah satu keajaiban musik Oma Irama adalah rentang temanya yang membentang di semua urusan kehidupan. Adakah musisi yang menciptakan lagu tentang kesedihan suami istri yang tak punya anak? Atau kesedihan seorang perempuan yang diceraikan suaminya lewat surat? Atau penyesalan serang lelaki yang menceraikan istrinya dan mengajaknya rujuk kembali? Seumur hidup saya tidak pernah menemukan musisi yang menciptakan lagu yang mewakili perasaan seorang laki-laki saat melihat istrinya mengejan kesakitan di ruang bersalin. Oma Irama mungkin adalah satu-satunya musisi di dunia yang melakukannya. Judul lagunya Tak Tega.

Di antara deretan musisi Indonesia, ada tiga orang yang lagunya bisa membuat saya tersenyum, yaitu Benyamin Sueb, Mbah Surip, dan Oma Irama. Tapi khusus Oma Irama, lagunya membuat saya tersenyum bukan karena lagu itu berjenis komedi melainkan karena tiap kali mendengarkan lagu itu saya membayangkan situasi nyata atau adegan filmnya.

Salah satu yang lucunya keterlaluan adalah lagu berjudul Masya Allah. Judul yang sangat religius. Tapi isinya bukan puji-pujian kepada Tuhan melainkan kepada perempuan cantik. Lagu ini didahului duet piano dan petikan gitar yang menciptakan suasana santai seperti seorang yang sedang duduk ngopi di beranda rumahnya sambil menggoyang-goyangkan kaki. Yang kurang ajar, suara yang muncul pertama kali adalah suara desahan Rhoma lalu disusul dengan gumam “Masya Allah” dengan makhraj yang sangat fasih khas Bang Haji.

“Sempurna, Tuhan menciptakan. Dirimu yang tiada cela. Kurasa engkaulah orangnya. Yang tercantik di jagat raya. Mustahil lelaki tak tergila-gila. Mustahil lelaki tak memuja-muja. Sempurna.”

Seperti apa rupa perempuan itu sampai dipuja sedemikian rupa oleh Rhoma? Apakah pada saat menciptakan lagu itu Rhoma dalam kondisi ekstase? Lagu ini mengingatkan saya pada puisi Gus Mus “Perempuan Cantik Sekali di Multazam”. Karya puisi ini saya yakin diciptakan dalam kondisi ekstase spiritual karena berada di dekat kakbah. Tapi ekstase seperti apa yang terjadi pada Bang Rhoma? Mungkin lagu inilah yang menjelaskan kenapa Bang Rhoma begitu mudah jatuh cinta dan kawin lagi, semudah membikin lagu.

Walaupun Rhoma bisa begitu mudah jatuh cinta dan kawin lagi, karya musiknya melampaui kehidupannya sendiri. Di beberapa lagu dia bisa menyanyikan lirik dan nada yang puitis-melankolis tentang kesedihan akibat kehilangan seseorang yang dicintai. Jauh dari kesan seorang lelaki yang suka memamerkan bulu dada sambil menunggang kuda.

Kalau sudah tiada baru terasa. Bahwa kehadirannya sungguh berharga. Kutahu rumus dunia, semua harus berpisah. Tetapi kumohon tangguhkan, tangguhkanlah.

Saya mengagumi Rhoma bukan hanya sebagai pencipta lagu merangkap vokalis, tapi juga sebagai gitaris. Rhoma, dengan gitar legendarisnya yang tanpa kepala itu, seperti Nabi Sulaiman dan hewan-hewan. Ketika Rhoma ingin menyanyikan lagu sedih, ia tinggal bilang kepada gitarnya, “Mainkan lagu sedih!”

Gitar tanpa kepala saja bisa menciptakan melodi yang begitu indah, bagaimana lagi kalau ada kepalanya? Kata pelawak Sule, gara-gara kepala gitar yang hilang inilah joget Bang Haji monoton, tengok kiri, tengok kanan, seperti sedang mencari kepala gitar.

Dari semua lagu Rhoma, yang musiknya paling bagus menurut saya adalah lagu Ghibah. Bagi saya, lagu ini sama sekali bukan dangdut tapi rok progresif. Kira-kira setara dengan lagu Ministry of Lost Souls milik Dream Theater. Ini juga merupakan salah satu lagu Rhoma yang paling panjang, sampai delapan menit. Ciri khas lagu progresif. Di lagu ini, petikan gitar Rhoma bersahut-sahutan dengan piano, tabla, dan seruling. Seolah-olah semua alat alat musik itu saling bicara satu sama lain. Saya menduga, lagu ini direkam pada saat kru Soneta baru saja mendapat pembagian honor dari Bang Rhoma yang jumlahnya sampai membuat mereka tak henti-hentinya mendesah “Masya Allah”.

Saya kira Rhoma adalah maestro musik yang tidak akan pernah tertandingi. Sampai kapan pun. Tak ada satu pun musisi zaman sekarang yang karyanya bisa menandingi dangdut Soneta. Sebutan Raja Dangdut saja tidaklah cukup. Rhoma adalah Dewa. Kita semua fana.

Musik Puisi yang Harus Dinikmati Sebelum Mati (Bagian-6): Porcupine Tree

Grup musik rok progresif asal Inggris ini sama sekali tidak terkenal di Indonesia. Tidak seperti Dream Theater, Radiohead, atau bahkan Pink Floyd sekalipun yang masih punya banyak penggemar. Dulu saya masih bisa menemukan kaset Pink Floyd di toko kaset di bawah terminal Blok M meskipun grup band ini sudah lama bubar. Tapi saya satu kali pun tidak pernah menemukan kaset Porcupine Tree walaupun grup ini waktu itu masih belum bubar.

Saya dulu mengenal Porcupine Tree dengan bantuan algoritma Google menggunakan kata kunci “grup rok progresif yang mirip Pink Floyd”. Google memberi jawaban banyak sekali. Beberapa di antaranya yang teratas adalah Dream Theater dan Radiohead. Porcupine Tree ada di nomor bawah. Jauh di bawah Dream Theater.

Beberapa lagu Dream Theater memang mirip Pink Floyd tapi sebagian besar lainnya bagi saya hanya suara berisik. Tidak bisa dinikmati sama sekali. Seolah-olah John Petrucci cuma sedang pamer keterampilan bermain gitar. Berbeda dengan Porcupine Tree. Mereka memang bermain musik. Mengekspresikan emosi lewat alat musik.

Steven Wilson, pemimpin grup yang merangkap pencipta lagu, vokalis, dan gitaris, potongannya sama sekali tidak seperti musisi rok. Mungkin lebih mirip programer. Di panggung, tidak banyak tingkah. Kadang main gitar sambil duduk saja. Seperti Ebiet G Ade.

Sayangnya, ia tidak pandai bikin lirik lagu yang tajam seperti Roger Waters, pentolan Pink Floyd. Sebagian besar lirik lagu Porcupine Tree berupa puisi gelap. Saya sendiri tidak mengerti sama sekali maknanya walaupun sangat menikmati musiknya.

Yang paling saya sukai dari Porcupine Tree adalah lagu-lagu yang diawali bebunyian yang sangat lembut seperti musik pengiring meditasi kemudian secara perlahan mengalir menjadi musik rok yang melodis. Seperti sedang melampiaskan kejenuhan, kemarahan, kemuakan.

• Buying New Soul

• Russia on Ice

• Even Less

• Waiting

Sesuai dengan genrenya, rok progresif, lagu-lagu Porcupine Tree durasinya panjang-panjang. Bahkan ada yang sampai 40 menit. Hanya satu lagu! Instrumentalia tanpa vokal. Seperti lagu Moonloop. Lagu ini bisa membawa kita mengawang-awang ke bulan, yang sebelumnya hanya kita ketahui sisi gelapnya dari album Pink Floyd, The Dark Side of the Moon. Permainan gitar syntethizer Steven Wilson terdengar sangat persis dengan permainan gitar David Gilmour.

Di tangan Steven Wilson, musik benar-benar bisa mengungkapkan emosi. Di salah satu album solonya, ia menulis lagu berjudul Refugee. Liriknya biasa saja. Seperti hendak puitis walau tak bisa. Tapi begitu sampai di tengah lagu, bahkan suara harmonika dan gitar saja bisa membuat kita merinding, membayangkan keputusasaan sekaligus kemarahan orang-orang Suriah yang meninggalkan negaranya karena perang.

Lagu yang terakhir ini bukan karya Steven Wilson sendiri melainkan milik grup musik pop legendaris asal Swedia, yaitu ABBA. Judulnya The Day Before You Came. Steven Wilson menafsir ulang lagu pop ini. Dan di sinilah kehebatannya.

Lagu ini liriknya biasa saja. Sama sekali tidak puitis. Hanya bercerita tentang keseharian seseorang mulai bangun pagi, berangkat ke kantor, sibuk bekerja, pulang, jatuh cinta. Klise sekali. Tapi di tangan Steven Wilson dengan gitar akustikya, tiba-tiba lagu ini menjadi lagu sedih yang sangat melankolis sekalipun kita tidak mengetahui liriknya dan hanya mengetahui judulnya.