Menipu Tukang Tipu [intisari]

Penulis: M. Sholekhudin

Aksi penipuan, seperti kita tahu, belakangan semakin meresahkan. Modus dan bentuknya beraneka macam. Ini memang kabar buruk. Tapi kabar baiknya, mereka mudah dikenali. Kita juga masih punya akal sehat. Dengan modal ini, kita bisa membuat mereka tak berkutik.

—–

Laksmi Juwita, ibu seorang anak, pembaca setia Intisari, tidak menyangka dirinya bakal menjadi incaran komplotan penipu. Bulan Mei lalu ia menerima surat “spesial” dan aneh.

Keanehan pertama, surat kilat khusus itu tidak dilengkapi dengan identitas lengkap si pengirim di amplop. Ketika dibuka, isinya pemberitahuan bahwa dirinya menjadi pemenang pertama “Gebyar Quiz Redaksi Intisari” dan berhak atas hadiah satu unit mobil Honda Jazz.

Pemberitahuan ini tentu saja aneh karena seingatnya, ia tidak pernah mengikuti undian di Intisari yang berhadiah mobil Honda Jazz. Yang diingat, ia memang pernah iseng mengirim jawaban teka-teki silang (TTS), kuis Tolong Dong!, dan kuis berhadiah buku Mayo Clinic. “Masak, ikut undian berhadiah mobil Honda Jazz kok bisa lupa,” katanya.

Kenaehan lain, surat pemberitahuan itu tidak menggunakan kop majalah Intisari. Keanehan berikutnya semakin tampak dari isi kalimat pemberitahuan itu. Terlalu banyak kata-kata yang dipaksakan untuk menunjukkan bahwa surat itu memang benar adanya, bukan penipuan. Ujung-ujungnya, Laksmi diharuskan menghubungi nomor telepon tertentu untuk membayar pajak undian sebesar 25 persen dari nilai hadiah atau Rp 35 juta.

Untuk lebih meyakinkan, surat pemberitahuan itu dilengkapi dengan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak dari Ditjen Pajak, serta surat keterangan dari Polda Metro Jaya. Juga surat keterangan dari notaris tentang keabsahan penarikan undian itu. Lengkap dengan tanda tangan dan stempelnya. Yang Laksi tidak habis pikir, surat itu juga dilampiri dengan jawaban kuis yang pernah Laksmi kirimkan ke redaksi Intisari.

Lebih aneh lagi, saat surat itu diterima, waktu tenggat pengambilan hadiah sudah lewat. Sebagai orang terdidik, Laksmi yang seorang sarjana itu sudah bisa mengendus modus penipuan itu. Maka, ia pun menelepon si tukang tipu itu, pura-pura bertanya sungguhan tentang hadiah yang bakal ia terima.

Sebelum menelepon, Laksmi secara cerdik mengaktifkan fitur CLIR (Calling Line Identification Restriction) di ponselnya. CLIR adalah fitur yang membuat nomor penelepon tidak muncul di layar monitor telepon yang dituju sehingga identitasnya tidak bisa diketahui oleh penerima. Ia sengaja menyembunyikan nomor teleponnya karena khawatir dirinya akan menjadi incaran penipuan berikutnya dengan modus berbeda. Pasalnya, belakangan muncul lagi penipuan gaya lama dengan modus minta kiriman uang segera untuk biaya berobat saudara korban yang sakit atau kecelakaan.

Ketika tersambung, telepon Laksmi dijawab oleh seorang laki-laki dengan latar belakang suara berisik jalanan. Sambil mengerjai penipu itu, Laksmi sempat menakut-nakutinya bahwa ia bisa melacak identitas dan lokasi si penipu dengan fasilitas LBS (Location-Based Service). LBS adalah fasilitas yang memungkinkan penyedia layanan operator seluler melacak posisi ponsel ketika sedang aktif.

Penipu itu sempat keder dan buru-buru mematikan ponselnya. Padahal di dalam hati, Laksmi tersenyum nyengir karena fasilitas LBS tidaklah semudah seperti yang baru saja ia katakan kepada penipu itu. Sebagai sarjana telekomunikasi, ia tahu fasilitas ini hanya bisa dipakai atas persetujuan pemilik nomor yang hendak dilacak. Ia pernah mencoba layanan ini menggunakan ponsel suaminya, yang kebetulan seorang wartawan majalah telekomunikasi.

Secara berkelakar ia mengaku, sempat terbersit di pikirannya untuk melacak sendiri keberadaan penipu itu, meniru gaya Mizuhara, tokoh cewek detektif di dalam komik Jepang kegemarannya. Tapi, “Saya mah lebih sibuk ngurusin keluarga dan kerjaan daripada ngurusin tukang tipu yang beginian,” ucapnya enteng.

Malah dinasehati

Lain lagi pengalaman Irawan, seorang karyawan swasta di Jakarta Selatan. Saat kali pertama menjadi incaran tukang tipu, ia masih belum begitu sadar akan aksi penipuan. Saat minggu pertama berada di kantor baru, ia mendapat telepon dari s
eorang wanita. “Ngomongnya ramah bukan main. Sekretaris di kantor saya aja kalah ramah. Kalau saja ada pelatihan bicara ramah buat sekretaris, mungkin dia pantas jadi instrukturnya,” katanya sambil terkekeh.

Sebelum mulai menembakkan panah tipunya, wanita itu mengaku dari sebuah biro travel. Agar lebih meyakinkan, ia mengaku tahu bahwa Irawan baru saja menggunakan jasa sebuah maskapai penerbangan. Irawan tentu saja manggut-manggut karena sebulan sebelumnya ia memang naik pesawat itu. “Saya juga heran, bagaimana dia bisa tahu ya. Herannya lagi, dia bisa tahu nomor telepon kantor saya padahal waktu itu saya baru saja pindah kerja,” ujarnya dengan wajah bertanya.

Sembari ngobrol, wanita itu juga memuji-muji Irawan. Katanya, gaya bicaranya kalem dan berwibawa. Setelah beberapa menit ngobrol, wanita itu baru menembakkan panah tipunya. Ia menyampaikan kabar gembira, nomor tiket Irawan itu diikutkan undian dan menang. Hadiahnya, berlibur ke Bali selama empat hari.

“Waktu itu saya hampir percaya. Soalnya hadiah segitu kan wajar, enggak terlalu besar. Tidak seperti hadiah mobil yang harganya seratusan juta rupiah. Apalagi yang memberi hadiah itu biro travel. Saya nyaris saja percaya, apalagi saya ini ‘kan orang yang tidak suka su’udzon (berburuk sangka),” ucapnya sambil terkekeh lagi.

Irawan juga tidak diminta untuk membayar apa pun. Tapi ia ditanya nomor kartu kreditnya. Katanya, untuk bukti booking hotel di Bali. Begitu ditanya soal kartu kredit, ia baru curiga bahwa yang dihadapinya adalah seorang penipu. “Untungnya waktu itu saya sudah tahu modus pencurian dengan kartu kredit,” ujarnya.

Begitu merasa hendak ditipu, ia pun melancarkan serangan balik. Ia mengaku lupa, tidak membawa kartu kreditnya, dan akan menelepon ke travel itu besoknya. “Karena waktu itu dia yang menelepon, jadi saya ulur-ulur aja. Saya berlagak tanya macam-macam, sebagai persiapan sebelum berangkat ke Bali. Ternyata jawabannya ngaco,” katanya.

Setelah yakin bahwa wanita itu penipu, di akhir obrolan ngalor ngidul itu, Irawan malah sempat menasehatinya. Sayangnya, wanita itu langsung menutup telepon begitu diajak kembali ke jalan yang benar. “Yah, siapa tahu habis menelepon itu dia ternyata kemudian sadar. Yang penting kita ‘kan harus berusaha dan saling menasehati dalam kebaikan. Perkara dia menerima atau tidak, itu kan urusan lain,” tandasnya dengan kalem—dan mungkin berwibawa.

Banyak kejanggalan

Laksmi dan Irawan hanyalah dua dari sekian banyak orang yang pernah menjadi target aksi penipuan. Selain keduanya, masih ada ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang pernah menjadi target. Modus penipuannya pun bermacam-macam.

Sebagian target dikirimi surat seperti Laksmi. Yang lain dikirimi sms, seperti yang juga pernah dialami oleh Laksmi. Sebagian lainnya ditelepon seperti Irawan. Untuk meyakinkan korban, para penipu itu sebelumnya telah mengantongi data identitas korban. Entah dari mana mereka mendapatkan data ini. Yang jelas, data ini mereka gunakan untuk mengecoh korban sehingga seolah-olah pemberitahuan itu memang berasal dari penyelenggara undian.

Untuk mempermudah ruang gerak, para penipu itu biasanya menggunakan nomor telepon CDMA atau GSM yang bisa dibawa ke mana-mana. Dengan nomor CDMA itu, mereka berusaha mengelabui korban seolah-olah nomor telepon yang ditulis itu adalah nomor kantor beneran karena memang nomor CDMA sulit dibedakan dengan nomor telepon kantor atau rumah.

Biasanya penipu mencantumkan tanggal waktu pengambilan hadiah sudah lewat. Tampaknya ini untuk membuat korban panik dan segera menghubungi nomor telelpon si penipu itu.

Agar tampak meyakinkan, selain dilamipiri dengan berbagai dokumen “resmi”, surat pemberitahuan itu juga disertai dengan surat yang pernah dikirimkan korban ke perusahaan yang namanya dibajak. Bahkan yang kocak, di bagian bawah surat penipuan itu ada kalimat peringatan untuk berhati-hati dengan segala jenis penipuan. Bagi mereka yang kurang kritis, pemberitahuan ini bisa tampak sangat meyakinkan. Tapi bagi mereka yang terdidik, muslihat macam ini sangat kentara sebagai penipuan.

Dengan meneliti sebentar saja, kata Laksmi, surat pemberitahuan itu tampak jelas sebagai aksi tipu-tipu. Ada banyak kejanggalan di sana. Misalnya saja cara penulisan kepala surat, penulisan nomor telepon, maupun format SPT Tahunan pajak yang dilampirkan. Karena sudah terbiasa mengisi SPT Tahunan pajak, Laksmi bisa membedakan format yang asli dan gadungan. “Untuk apa langganan Intisari kalau tetap tertipu?” guyon Laksmi yang belakangan perusahaan tempat ia bekerja juga dibajak namanya oleh penipu.

“Kalau yang mau ditipu itu orang pintar kayak saya ini sih enggak masalah, tapi bagaimana kalau yang jadi korban itu orang yang gampang dibohongi. ‘Kan kasihan,” kata Irawan setengah bercanda. Meski tidak punya bukti, Irawan curiga para penipu itu mendapatkan data korban dari sampah kertas yang berasal dari perusahaan-perusahaan yang tidak dimusnahkan sebelum dibuang. “Mbok ya dimusnahkan dulu sebelum dibuang,” sarannya.

“Saya sih realistis saja. Saya bukan detektif Conan. Polisi juga sudah banyak kerjaan. Untuk aksi kejahatan seperti ini saya kira kita harus bisa melindungi diri kita sendiri. Penipu itu memang lumayan cerdik, modusnya berubah-ubah terus, tapi kita ‘kan punya akal sehat. Hare gene mana ada sih orang berbaik hati mau ngasih kita mobil,” kelakar Irawan.

Sama seperti Irawan, Laksmi juga menyarankan agar penerima surat-surat pemberitahuan itu mengecek dulu kebenarannya dengan cara menelepon pihak yang namanya dibajak itu. Bukan ke nomor yang dicantumkan di surat itu. Juga, masih saran Laksmi, jangan mudah percaya kalau disuruh membayar pajak di depan, apalagi pajak yang nilainya sangat besar. Karena, pajak biasanya dibayarkan bersamaan dengan penyerahan hadiah.

Lebih baik sedikit curiga daripada menjadi korban. Jangan mudah percaya kepada orang lain yang memberi iming-iming menggiurkan. Pasalnya, kita saat ini hidup di sebuah zaman ketika kita (dalam ungkapan Anton Checkov, sastrawan Rusia) lebih mudah kehilangan rasa percaya daripada saputangan usang.

Author: emshol

Mohammad Sholekhudin, apoteker lulusan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya. Sempat bekerja di industri farmasi PT Novell Pharmaceutical Laboratories. Pernah menjadi penulis tetap majalah Kelompok Kompas Gramedia. Sempat menjadi editor konten buku Departemen Kesehatan. Penulis Buku Obat Sehari-Hari terbitan Elex Media Komputindo. Berminat di bidang penulisan dan pendidikan masyarakat. Tinggal di pesisir Lamongan. Bisa dihubungi di emshol@gmail.com/

2 thoughts on “Menipu Tukang Tipu [intisari]”

Leave a comment